Ta’ajjub – ما أفعله

الدرس ١٤٧
التعجب ➀ صيغة ما أفعله

BAB TA’AJJUB

ص — بَابٌ: التَّعَجُّبُ لَهُ صِيْغَتَانِ: مَا أَفْعَلَ زَيْدًا، وَإعْرَابُهُ: «مَا» مُبْتَدَأٌ بِمَعْنَی شَيْءٌ عَظِيْمٌ، وَ«أَفْعَلَ» فِعْلٌ مَاضٍ فَاعِلُهُ ضَمِيْرُ «مَا» وَ«زَيْدًا» مَفْعُوْلٌ بِهِ، وَالْجُمْلَةُ خَبَرُ «مَا» وَأَفْعِلْ بِهِ، وَهُوَ بِمَعْنَى مَا أَفْعَلَهُ، وَأَصْلُهُ: أَفْعَلَ أَيْ صَارَ ذَا كَذَا، كَأَغَدَّ الْبَعِيْرُ، أَيْ: صَارَ ذَا غُدَّةٍ، فَغُيِّرَ اللَّفْظُ، وَزِيْدَتِ الْبَاءُ فِي الْفَاعِلِ لِإِصْلَاحِ اللَّفْظِ، فَمِنْ ثَمَّ لَزِمَتْ هُنَا، بِخِلَافِهَا فِي فَاعِلِ کَفَی.

Matan:

Bab: Ta’ajjub mempunyai 2 bentuk
مَا أَفْعَلَ زَيْدًا
I’rab-nya مَا sebagai mubtada’ artinya adalah شَيْءٌ عَظِيْمٌ “Sesuatu yang besar/yang agung”
أَفْعَلَ fi’il madhi, fa’il-nya adalah dhamir yang kembali kepada مَا
زَيْدًا maf’ul bih
Jumlah-nya (fi’il-fa’il-maf’ul bih) sebagai khabar مَا

أَفْعِلْ بِهِ
Maknanya sama dengan مَا أَفْعَلَهُ.
Lafazh أَفْعِلْ asalnya adalah أَفْعَلَ yaitu artinya صَارَ ذَا كَذَا “Yang demikian itu menjadi seperti yang demikian”
Sama seperti kalimat أَغَدَّ الْبَعِيْرُ artinya adalah صَارَ ذَا غُدَّةٍ “Unta itu jadi mempunyai kelenjar”. Kemudian lafalnya diubah dan ditambah huruf ba’ pada fa’il-nya untuk memperbaiki lafalnya.
Oleh sebab itulah di sini penambahan huruf ba’nya itu suatu keharusan. Berbeda dengan fa’il-nya کَفَی, di mana fa’il-nya sering memakai ba’ tetapi tidak harus.

وَإنَّمَا يُبْنَى فِعْلَا التَّعَجُّبِ وَاسْمُ التَّفْضِيْلِ مِنْ فِعْلٍ ثُلَاثِيٍّ، مُثْبَتٍ، مُتَفَاوِتٍ، تَامٍّ، مَبْنِيٍّ لِلْفَاعِلِ، لَيْسَ اسْمُ فَاعِلِهِ عَلَى أَفْعَلَ


Dua fi’il ta’ajjub ini (أَفْعَلَ dan أَفْعِلْ) serta isim tafdhil hanya dibentuk dari fi’il tsulatsi (yaitu tsulatsi mujarrad, tidak boleh dari tsulatsi mazid atau ruba’i), mutsbat (yang positif, tidak boleh negatif), mutafawit, taam (bukan yang naqish, bukan kaana dan saudaranya), yang aktif (bukan yang pasif), isim fa’il-nya tidak ber-wazan أَفْعَل.
Mutafawit, artinya yang ada makna “lebih”, yang satu lebih dari yang lain. Kalau tidak ada makna mutafawit, maka tidak boleh. Misalnya “mati”, di mana mati tidak ada yang “lebih mati” antara satu dan lainnya, maka tidak ada makna mutafawit.

ش — التَّعَجُّبُ: تَفَعُّلٌ مِنَ الْعَجَبِ، وَلَهُ أَلْفَاظٌ كَثِيْرَةٌ غَيْرُ مُبَوَّبٍ لَهَا فِي النَّحْوِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: { كَیفَ تَكفُرُوْنَ بِاللّٰهِ } [البقرة، ۲۸]

Syarah:

التَّعَجُّبُ wazan تَفَعُّلٌ dari kata الْعَجَبِ
تَعَجُّبٌ artinya kagum.
Dan ta’ajjub ini mempunyai lafal yang banyak yang tidak diberikan bab khusus pada ilmu nahwu.
Selain dua bentuk yang tadi, ada banyak bentuk ta’ajjub, akan tetapi bentuk yang asli atau qiyasi adalah dua bentuk yang tadi. Yang selainnya bisa menjadi ta’ajjub dengan qarinah (indikasi). Yang asalnya itu bukan ta’ajjub kemudian karena ada indikasi yang lain, dimaknakan ta’ajjub.
Contoh (yang selain dua bentuk tadi) firman Allah ta’ala:
{ كَیفَ تَكفُرُوْنَ بِاللهِ }
“Bagaimana mungkin kalian kafir/ingkar kepada Allah.”
[QS Al Baqarah: 28].

Ada lanjutannya:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Bagaimana mungkin kalian ingkar kepada Allah, padahal kalian dulunya adalah mati, lalu Allah menghidupkan kalian, kemudian Allah mematikan kalian lalu Allah menghidupkan kalian kembali. Kemudian hanya kepada-Nyalah kalian dikembalikan.”

وَقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ:
Dan sabda Nabi ﷺ:

«سُبْحَانَ اللهِ! إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ حَيًّا وَلَا مَيِّتًا».
“Maha suci Allah, sesungguhnya seorang mukmin tidak menjadi najis ketika hidup dan tidak pula ketika mati.” [HR. Bukhari dan Muslim, muttafaq ‘alaih]
Lafal حَيًّا وَلَا مَيِّتًا adalah tambahan dari Al Bukhari secara mu’allaq, mauquf kepada Ibnu Abbas. Dan diriwayatkan pada riwayat yang lain dengan marfu’ (bukan mauquf) dengan sanad yang shahih. حَيًّا sebagai haal.
Ini bentuk ta’ajjub memakai سُبْحَانَ اللهِ.

وَقَوْلِهِمْ: لِلّٰهِ دَرُّرُّهُ فَارِسًا !

Dan perkataan mereka (orang-orang Arab):
لِلّٰهِ دَرُّرُّهُ فَارِسًا !
“Betapa hebatnya dia sebagai seorang pengendara kuda”.
Ini bentuk ta’ajjub.

وَقَوْلِ الشَّاعِرِ:
Dan perkataan seorang penyair:

١٤٥ — یَــا سَــیِّــدًا مَــا أَنْــتَ مِــنْ سَــیِّــدٍ • مُــوَطَّــأَ الْأَكْــنَــافِ رَحْــبَ الــذِّرَاعْ

“Wahai Sayyid, apa sisi ke-sayyid-anmu yang memudahkan untuk singgah dalam perlindungannya dan keluasan kemuliaannya.”

وَالْمُبَوَّبُ لَهُ فِي النَّحْوِ صِیْغَتَانِ: «ما أَفْعَلَ زَيْدًا، وَأَفْعِلْ بِهِ».
Bentuk ta’ajjub yang dibuatkan bab khusus dalam ilmu nahwu ada dua bentuk, yaitu مَا أَفْعَلَ زَيْدًا dan أَفْعِلْ بِهِ.

فَأَمَّا الصِّيْغَةُ الْأُوْلَى فَمَا: اسْمٌ مُبْتَدَأٌ، وَاخْتُلِفَ فِي مَعْنَاهَا عَلَى مَذْهَبَيْنِ

Bentuk Pertama

Adapun bentuk yang pertama yaitu مَا أَفْعَلَ زَيْدًا atau مَا أَفْعَلَهُ, maka مَا adalah isim sebagai mubtada’ dan diperselisihkan maknanya menjadi dua pendapat.

LAFAL مَا

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا نَكِرَةٌ تَامَّةٌ بِمَعْنَى شَيْءٍ، وَعَلَى هٰذَا الْقَوْلِ فَمَا بَعْدَهَا هُوَ الْخَبَرُ، وَجَازَ الِابْتِدَاءُ بِهَا لِمَا فِيْهَا مِنْ مَعْنَى التَّعَجُّبِ، كَمَا قَالُوْا فِي قَوْلِ الشَّاعِرِ:

Makna yang pertama:

مَا – nya adalah isim nakirah yang sempurna (taam) yang artinya adalah شَيْءٍ.
Ini adalah pendapat Al Khalil, Sibawaih dan jumhur ulama nahwu Bashrah.
Jadi menurut pendapat ini مَا di sini adalah isim nakirah bukan isim ma’rifah, kemudian taammah yaitu isim yang tidak membutuhkan kepada sifat dan tidak membutuhkan kepada maushul.
Berdasarkan pendapat ini maka setelahnya (أَفْعَلَ زَيْدًا) adalah khabar. Boleh menjadi mubtada’*), sebabnya karena mempunyai makna ta’ajjub.
*Karena nakirah, harusnya tidak boleh menjadi mubtada’ yang di depan. Tetapi di sini ternyata boleh.

Sebagaimana mereka mengatakan pada perkataan seorang penyair:

١٤٦ — عَــجَــبٌ لِــتِــلْــكَ قَــضِــيَّــةً، وَإِقَــامَــتِــي • فِــيْــكُــمْ عَــلَــى تِــلْــكَ الْــقَــضِــيَّــةِ أَعْــجَــبُ

Di situ ada عَــجَــبٌ sebagai mubtada’, nakirah, tidak disifati, berdiri sendiri. Bisa menjadi mubtada’ karena bermakna kagum.
Dari sini bisa disimpulkan bahwasanya مَا juga sama seperti ini karena maknanya sama, sehingga bisa menjadi mubtada’ walaupun tidak disifati dan sendirian.

وَإمَّا لِأَنَّهَا فِي قُوَّةِ الْمَوْصُوْفَةِ؛ إذِ الْمَعْنَى شَيْءٌ عَظِيْمٌ حَسَّنَ زَیْدًا، كَمَا قَالُوْا فِي «شَرٌّ أَهَرَّ ذَا نَابٍ»: إِنَّ مَعْنَاهُ شَرٌّ عَظِيْمٌ أَهَرَّ ذَا نَابٍ


Dan bisa juga lafal مَا ini bisa menjadi mubtada’ walaupun nakirah karena kekuatannya sama seperti isim yang diberi sifat.
Kalau ada isim nakirah diberi sifat maka boleh menjadi mubtada’ dan boleh di depan.
Karena maknanya adalah شَيْءٌ عَظِيْمٌ حَسَّنَ زَیْدًا.
Jadi makna مَا – nya adalah شَيْءٌ عَظِيْمٌ.
Sebagaimana orang Arab mengatakan «شَرٌّ أَهَرَّ ذَا نَابٍ»
“Kejelekan membuat binatang mempunyai taring itu أَهَرَّ.”
أَهَرَّ itu suara anjing ketika merasa sakit.
Maknanya:
مَا أَهَرَّ ذَا نَابٍ إِلَّا شَرٌّ عَظِيْمٌ
“Tidaklah menjadikan binatang yang bertaring mengeluarkan suara kesakitan kecuali suatu kejelekan yang besar.”
Jadi شَرٌّ di sini sebagai mubtada’, nakirah, khabar-nya أَهَرَّ, boleh tanpa disifati dan tanpa musawwigh yang lain dan berada di depan karena ini sesuatu yang ‘ajib. Karena maknanya adalah شَرٌّ عَظِيْمٌ أَهَرَّ ذَا نَابٍ. Sehingga ini menjadi dalil bahwasanya مَا ta’ajjub boleh menjadi mubtada’ walaupun sendirian.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا تَحْتَمِلُ ثَلَاثَةَ أَوْجُهٍ؛ أَحَدُهَا: أَنْ تَكُوْنَ نَكِرَةً تَامَّةً، كَمَا قَالَ سِيْبَوَيْهِ، وَالثَّانِي: أَنْ تَكُوْنَ نَكِرَةً مَوْصُوْفَةً بِالْجُمْلَةِ الَّتِيْ بَعْدَهَا، وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُوْنَ مَعْرِفَةً مَوْصُوْلَةً بِالْجُمْلَةِ الَّتِي بَعْدَهَا،

Makna yang kedua:

Lafal مَا ada tiga kemungkinan:
⓵ مَا – nya nakirah taammah sebagaimana yang dikatakan oleh Sibawaih
⓶ مَا – nya nakirah yang disifati oleh kalimat setelahnya, yaitu fi’il ta’ajjub dan fa’il-nya sebagai na’at bagi مَا tersebut.
⓷ مَا – nya ma’rifah sebagai isim maushul, jumlah setelahnya shilah maushul, yaitu fi’il ta’ajjub dan fa’il-nya.

وَعَلَى هٰذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ فَالْخَبَرُ مَحْذُوْفٌ، وَالْمَعْنَى شَيْءٌ حَسَّنَ زَيْدًا عَظِيْمٌ، أَوِ الَّذِي حَسَّنَ زَيْدًا شَيْءٌ عَظِيْمٌ، وَهٰذَا قَوْلُ الْأَخْفَشِ


Berdasarkan dua kemungkinan ini (yang kedua dan ketiga) maka khabar-nya dihapus.
Maknanya (untuk yang kedua) adalah شَيْءٌ حَسَّنَ زَيْدًا عَظِيْمٌ “Sesuatu yang membaguskan Zaid itu sesuatu yang besar”.
Atau (untuk yang ketiga) maknanya adalah الَّذِي حَسَّنَ زَيْدًا شَيْءٌ عَظِيْمٌ. Dan ini pendapatnya Al Akhfasy.
الَّذِيْ ini مَا-nya maushul
حَسَّنَ زَيْدًا shilah maushul-nya
شَيْءٌ khabar
عَظِيْمٌ na’at

LAFAL أَفْعَلَ

وَأَمَّا «أَفْعَلَ» فَزَعَمَ الْكُوْفِيُّوْنَ أَنَّهُ اسْمٌ؛ بِدَلِيْلِ أَنَّهُ يُصَغَّرُ، قَالُوْا: «مَا أُحَيْسِنَهُ» وَ«مَا أُمَيْلِحَهُ».
Adapun lafal أَفْعَلَ maka para ahli nahwu Kufah berpendapat bahwa ini adalah isim (bukan fi’il)*), dengan dalil bahwasanya أَفْعَلَ ini bisa di-tashghir. Orang Arab mengatakan مَا أُحَيْسِنَهُ dan مَا أُمَيْلِحَهُ **).

  • Kecuali Al Kisai, beliau tidak sependapat dengan ini.
    ** Keduanya ini bentuk tashghir dari أَحْسَنِ dan أَمْلَحَ. Karena fi’il tidak bisa di-tashghir, yang bisa di-tashghir hanya isim, sehingga para ahli nahwu Kufah berpendapat ini adalah isim.

Kemudian sebagian yang berpendapat demikian, fathah-nya itu fathah i’rab, yang asalnya dhammah karena sebagai khabar, tetapi di sini di-fathah-kan (manshub) karena menyelisihi mubtada’. Karena khabar menyelisihi mubtada’ mengharuskan untuk di-manshub-kan. Sama seperti mustatsna di-manshub-kan, sebagian pendapat mengatakan karena menyelisihi kata sebelumnya. Sebagian lagi berpendapat bahwasanya fathah-nya itu bina’ (mabni) bukan mu’rab.

وَزَعَمَ الْبَصْرِيُّوْنَ أَنَّهُ فِعْلٌ مَاضٍ، وَهُوَ الصَّحِيْحُ؛ لِأَنَّهُ مَبْنِيٌّ عَلَى الْفَتْحِ، وَلَوْ كَانَ اسْمًا لَارْتَفَعَ عَلَى أَنَّهُ خَبَرٌ، وَلِأَنَّهُ يَلْزَمُهُ مَعَ يَاءِ الْمُتَكَلِّمِ نُوْنُ الْوِقَايَةِ


Para ahli nahwu Bashrah berpendapat (termasuk Al Kisai, ahli nahwu dari Kufah) bahwasanya أَفْعَلَ fi’il madhi. Dan ini adalah pendapat yang benar, karena dia mabni dengan fathah. Seandainya dia itu isim niscaya marfu’ sebagai khabar, tetapi kenyataannya di-fathah sehingga lebih dekat kepada fi’il madhi. Dan fi’il madhi ini hukum asalnya di-fathah huruf terakhirnya.
Dan dalil yang kedua adalah lafal ini ketika bersama dengan ya’ mutakallim selalu/harus ada nun wiqayah. Sama seperti pada fi’il yang lainnya. Seandainya isim, tidak mungkin ada nun wiqayah, karena nun wiqayah hanya wajib bertemu dengan fi’il atau sebagian huruf.

يُقَالُ: «مَا أَفْتَرَنِي إِلَى عَفْوِ اللهِ»، وَلَا يُقَالُ: «مَا أَفْقَرِي»
Dikatakan:
مَا أَفْتَرَنِي إِلَى عَفْوِ اللهِ.
“Betapa butuhnya aku kepada ampunan Allah”.

Di situ memakai nun wiqayah.
Dan tidak boleh dikatakan مَا أَفْقَرِي (tanpa nun wiqayah).
Kalau dia isim harusnya مَا أَفْقَرِي bukan مَا أَفْقَرَنِي.

وَأَمَّا التَّصْغِيْرُ فَشَاذٌّ، وَوَجْهُهُ أَنَّهُ أَشْبَهَ الْأَسْمَاءَ عُمُوْمًا بِجُمُوْدِهِ


Adapun tashghir (yang menjadi dalil tadi) adalah sesuatu yang ganjil (syadz). Tidak bisa digunakan karena penggunaannya ganjil. Mengapa bisa di-tashghir? Karena lafal ini menyerupai isim secara keumuman dari segi ke-jumud-annya, karena tidak bisa berubah sedikit pun, hanya satu bentuk yaitu أَفْعَلَ. Sama seperti isim, tidak bisa ditashrif sama sekali. Tetapi kalau fi’il bisa ditashrif. Kalau sempurna namanya fi’il mutasharrif. Kalau fi’il yang tidak bisa di-tashrif secara sempurna namanya fi’il jamid.

وَأَنَّهُ لَا مَصْدَرَ لَهُ، وَأَشْبَهَ أَفْعَلَ التَّفْضِيْلِ خُصُوْصًا بِكَوْنِهِ عَلَى وَزْنِهِ، وَبِدِلَالَتِهِ عَلَى الزِّيَادَةِ، وَبِكَوْنِهِمَا لَا يُبْنَيَانِ إِلَّا مِمَّا اسْتَكْمَلَ شُرُوْطًا يَأْتِي ذِكْرُهَا.

Sebab lainnya karena lafal ini tidak ada mashdar-nya (kalau fi’il biasanya ada mashdar, ini tidak ada mashdar-nya, sehingga menyerupai isim yang tidak ada mashdar-nya). Menyerupai isim tafdhil secara khusus karena wazan-nya sama, maknanya menunjukkan kepada tambahan dan karena keduanya tidak dibentuk kecuali apabila lengkap terkumpul (terpenuhinya) syarat-syarat yang akan datang penyebutannya.
Sehingga karena menyerupai isim, maka boleh di-tashghir tetapi syadz.

وَفِي «أَحْسَنَ» ضَمِيْرٌ مُسْتَتِرٌ بِالِاتِّفَاقِ مَرْفُوْعٌ عَلَى الْفَاعِلِيَّةِ، رَاجِعٌ إلَى «مَا» وَهُوَ الَّذِي دَلَّنَا عَلَى اسْمِيَّتِهَا؛ لِأَنَّ الضَّمِيْرَ لَا يَعُوْدُ إلَّا عَلَى الْأَسْمَاءِ


Dan pada lafal أَحْسَنَ ada dhamir mustatir) secara kesepakatan*) marfu’ sebagai fa’il, yang kembali kepada lafal مَا. Ini yang menunjukkan kepada kita bahwasanya مَا itu adalah isim. Karena dhamir tidak kembali kecuali kepada isim, sehingga مَا ini adalah isim, karena dhamir pada lafal ta’ajjub kembali kepadanya.

  • Yaitu mustatir wujuban, bukan jawazan, ini termasuk pengecualian. Dhamir-nya mustatir yang ghaib tetapi wujuban. Karena hukum asalnya kalau ghaib mustatir jawazan.
    ** Kufah dan Bashrah sepakat ada dhamir mustatir pada أَحْسَنَ atau wazan أَفْعَل.

وَ«زَيْدًا» مَفْعُوْلٌ بِهِ عَلَى الْقَوْلِ بِأَنَّ أَفْعَلَ فِعْلٌ مَاضٍ، وَمُشَبَّهٌ بِالْمَفْعُوْلِ بِهِ عَلَى الْقَوْلِ بِأَنَّهُ اسْمٌ


Dan زَيْدًا sebagai maf’ul bih menurut pendapat bahwasanya أَفْعَلَ fi’il madhi. Diserupakan dengan maf’ul bih menurut pendapat bahwasanya أَفْعَلَ adalah isim.
Tapi semuanya sepakat di-fathah-kan atau di-manshub-kan.
Yang berbeda i’rab-nya. Yang satu menyatakan maf’ul bih, satunya menyatakan musyabbah bil maf’ul bih (diserupakan dengan maf’ul bih). Mengapa bukan maf’ul fih? Karena menurut pendapat ini أَفْعَلَ fi’il lazim bukan fi’il muta’addi, sehingga bukan maf’ul bih yang secara tegas.

Sampai di sini pembahasan kita, semoga bisa dipahami.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

•• ════ ༻❶❹❼༺ ════ ••

Tinggalkan Komentar