Isim Nakirah dan Ma’rifah

الدّرْسُ ٣٨ : النَّكِرَةُ وَالْمَعْرِفَةُ
(الصّفحة: )

Pelajaran ke-38 : Nakirah dan Ma’rifah

ص – فَصْلٌ: الِاسْمُ ضَرْبَانِ: نَكِرَةٌ، وَهُوَ مَا شَاعَ فِي جِنْسٍ مَوْجُوْدٍ كَـــرَجُلٍ، أَوْ مُقَدَّرٍ كَـــشَمْسٍ،
Matan
Pasal: Isim ada dua:
Pertama, Isim Nakirah; yaitu isim yang masih luas dalam wujud jenisnya, seperti رَجُل  (seorang lelaki)(a), atau muqaddar(b), seperti: شَمْس  (matahari)(c)
_____________
(a) Seorang lelaki itu masih luas cakupannya, bisa mencakup lelaki yang mana saja dari lelaki yang ada.
(b) Adanya hanya satu tetapi disiratkan (muqaddar) ada lebih dari satu
(c) Matahari itu cuma satu, tapi seandainya matahari itu ada banyak, maka lafadzh شَمْس  itu bisa berarti kepada matahari yang mana saja. Jadi شَمْس  itu walaupun kita sudah kenal karena adanya cuma satu, tetapi lafadzh شَمْس termasuk nakirah. Supaya ma’rifat, diberi Alif Lam (الْ jadi الشَّمْسُ) karena meskipun hanya satu (satu matahari) dia dimuqaddarkan ada lebih dari satu.

وَمَعْرِفَةٌ، وَهِيَ سِتَّةٌ، الضَّمِيْرُ، وَهُوَ مَا دَلَّ عَلَى مُتَكَلِّمٍ أَوْ مُخَاطَبٍ أَوْ غَائِبٍ وَهُوَ إِمَّا مُسْتَتِرٌ كَالْمُقَدَّرِ وُجُوْبًا فِي نَحْوِ: «أَقُوْمُ» وَ«نَقُوْمُ» أَوْ جَوَازًا فِي نَحْوِ «زَيْدٌ يَقُوْمُ»، أَوْ بَارِزٌ، وَهُوَ إِمَّا مُتَّصِلٌ كَتَاءِ «قُمْتُ» وَكَافِ «أَكْرَمَكَ» وَهَاءِ «غُلَامِهِ» أَوْ مُنْفَصِلٌ: كَــ«أَنَا» وَ«هُوَ» وَ«إِيَّايَ»، وَلَا فَصْلَ مَعَ إِمْكَانِ الْوَصْلِ، إِلَّا فِي نَحْوِ الْهَاءِ مِنْ «سَلْنِيْهِ» بِمَرْجُوحِيَّةٍ، وَ«ظَنَنْتُكَهُ» وَ«كُنْتَهُ» بِرُجْحَانٍ.
Kedua, Isim Ma’rifat; jenisnya ada enam:
1. Dhamir, adalah isim yang menunjukkan kepada mutakallim (yang berbicara-orang pertama), mukhathab (yang diajak bicara-orang kedua) atau ghaib (orang ketiga).
Dhamir tebagi menjadi dua:
a. Mustatir (tersembunyi/tidak terlihat), seperti yang muqaddarah wujuban (muqaddarah secara wajib), pada contoh: «أَقُوْمُ» dan «نَقُومُ», atau mustatir-nya jawazan (mustatir secara boleh), pada contoh: «زَيْدٌ يَقُوْمُ».
b. Bariz (terlihat), ada dua;
– Muttashil (yang bersambung), contohnya ta’ pada «قُمْتُ», kaf pada «أَكْرَمَكَ» dan ha’ pada «غُلَامِهِ»
– Munfashil (yang terpisah) [terpisah secara penulisan bukan secara pengucapan], contohnya : أَنَا (saya), هُوَ (dia) dan إِيَّايَ  (saya).
Tidak boleh dipisahkan selama bisa disambungkan, kecuali seperti ha’ pada contoh «سَلْنِيْهِ» (ha’-nya boleh dipisahkan menjadi سَلْنِيْ إِيَّاهُ) tetapi marjuh (marjuh=tidak rajih, lebih rajih/lebih bagus disambung menjadi سَلْنِيْهِ). Dan ha’ pada contoh: «ظَنَنْتُكَهُ» dan «كُنْتَهُ», ini lebih rajih (lebih rajihnya dipisah).

ش- يَنْقَسِمُ الْاسْمُ بِحَسبِ التَّنْكِيْرِ وَالتَّعْرِيْفِ [إِلَى فِسْمَيْنِ]: نَكِرَةٌ، وَهِيَ الْأَصْلُ، وَلِهٰذَا قَدَّمْتُهَا، وَمَعْرِفَةٌ، وَهِيَ الْفَرْعُ، وَلِهَذَا أَخَّرْتُهَا.
Syarah
Isim itu pembagiannya ada banyak, ada menurut bentuknya, maqshur, manqush dan seterusnya; ada menurut i’rab-nya, mu’rab dan mabni; ada menurut jumlahnya, mufrad, mutsanna dan jama’; dan seterusnya. Di sini menurut dikenal atau tidaknya ada ma’rifat dan nakirah.
Isim menurut tankir dan ta’rifnya terbagi menjadi dua;
– Nakirah; dan ini hukum asal isim (hukum asalnya isim adalah nakirah). Oleh sebab inilah saya mengedepankannya (lebih mendahulukan menyebutkan nakirah ketimbang ma’rifat)
– Ma’rifat; dan ini adalah cabang dari nakirah, oleh sebab inilah saya mengakhirkannya.
[Mayoritas ulama berpendapat nakiroh adalah hukum asal isim, tetapi sebagian ulama berpendapat ma’rifah hukum asal isim. Kemudian di kitab ini muallif mendahulukan nakiroh karena asal isim, sedangkan di kitab lain lebih mendahulukan yang ma’rifah karena yang ma’rifah lebih mulia ketimbang yang nakiroh]

فَأَمَّا النَّكِرَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ عَمَّا شَاعَ فِي جِنْسٍ مَوْجُوْدٍ أَوْ مُقَدَّرٍ؛
Isim nakirah adalah istilah bagi setiap isim yang masih luas cakupan jenisnya baik itu yang ada (مَوْجُوْد) atau yang disiratkan (مُقَدَّر) ada.

فَالْاَوَّلُ كَرَجُلٍ؛ فَإِنَّهُ مَوضُوْعٌ لِمَا كَانَ حَيَوَانًا نَاطِقًا ذَكَرًا،
Ⓐ Yang pertama مَوْجُوْد (yang ada) seperti رَجُلٌ (seorang lelaki).

Lelaki itu banyak dan memang ada (مَوْجُود). Karena رَجُلٌ adalah isim yang diperuntukkan bagi setiap حَيَوَانًا نَاطِقًا ذَكَرًا. [Ini seperti istilah manthiq atau ilmu kalam, manusia didefinisikan demikian. Ada yang mengkritik istilah ini. Kita tinggalkan saja, tetapi maksudnya kita pahami saja bahwa حَيَوَانًا نَاطِقًا ذَكَرًا itu maksudnya manusia. رَجُل itu adalah حَيَوَانًا نَاطِقًا ذَكَرًا atau إنسانا ذكرا / manusia laki-laki].

فَكُلَّمَا وُجِدَ مِنْ هٰذَا الْجِنْسِ وَاحِدٌ فَهٰذَا الِاسْمُ صَادِقٌ عَلَيْهِ،
Maka setiap didapati salah satu dari jenis ini (yaitu jenis manusia yang laki-laki) maka nama ini (yaitu رَجُلٌ) bisa disematkan kepada jenis tersebut, yaitu manusia yang laki-laki.
[Kalau dalam Ushul Fiqh ini istilahnya “Mutlaq (مُطْلَق)” yaitu suatu kata yang bisa untuk semua jenis yang ada, misalnya “رَجُل. Umpamanya: اَكْرِمْ رَجُلًا “Muliakanlah seorang lelaki”. Maka laki-laki yang mana saja yang engkau muliakan, berarti engkau sudah melaksanakan kewajiban untuk memuliakan. Hanya perlu memuliakan satu laki-laki, tidak peduli laki-laki seperti apa, pokoknya dia seorang lelaki. Kalau dikatakan: اَكْرِمْ رَجُلًا صَالِحًا (Muliakan laki-laki yang shalih) berarti “Muqayyad (مُقَيَّد)”. Mutlaq lawannya Muqayyad. Jadi harus lelaki yang shalih. Berbeda dengan ‘Aam (عَامٌّ) dan Khash (خَاصٌّ), kalau ‘Aam menyeluruh, misalnya “اَكْرِمْ كُلَّ رَجُلٍ” (Muliakanlah semua lelaki), berarti umum (‘aam). Lawannya Khash]

وَالثَّانِي كَشَمْسٍ؛ فَإِنَّهَا مَوْضُوْعَةٌ لِمَا كَانَ كَوْكَبًا نَهَارِيًّا يَنْسَخُ ظُهُوْرُهُ وُجُوْدَ اللَّيْلِ، فَحَقُّهَا أَنْ تَصْدُقَ عَلَى مُتَعَدِّدٍ كَمَا أَنَّ رَجُلًا كَذٰلِكَ: وَإِنَّمَا تَخَلَّفَ ذٰلِكَ مِنْ جِهَةِ عَدَمِ وُجُوْدِ أَفْرَادٍ لَهُ فِي الْخَارِجِ، وَلَوْ وُجِدَتْ لَكَانَ هٰذَا اللَّفْظُ صَالِحًا لَهَا؛ فَإِنَّهُ لَمْ يُوْضَعْ عَلَى أَنْ يَكُوْنَ خَاصًّا كَزَيْدٍ وَعَمْرٍئ، وَإِنَّمَا وُضِعَ وَضْعَ أَسْمَاءِ الْأَجْنَاسِ.
Ⓑ Yang kedua مُقَدَّر, seperti شَمْسٍ (matahari).
Definisi شَمْسٍ ; adalah suatu ungkapan yang diperuntukkan bagi bintang yang nampaknya di siang hari dan penampakannya itu menghapus wujudnya malam.
Seharusnya kata شَمْسٌ bisa untuk beberapa شَمْسٌ sebagaimana رَجُلٌ bisa untuk beberapa رَجُل. [Kata Rajul bisa untuk lelaki yang mana saja dan memang kenyataannya memang ada banyak lelaki. Begitu juga syamsun harusnya bisa untuk matahari yang mana saja, tetapi kenyataannya matahari itu cuma satu, sehingga dia “muqaddar” bukan “maujud “]
Akan tetapi hal tersebut berbeda dari sisi tidak adanya syamsun (yang lain) pada kenyataannya. Seandainya ada (tidak hanya satu), niscaya lafadz شَمْسٌ boleh bagi syamsun-syamsun yang lainnya. Karena kata “شَمْسٌ” tidaklah diperuntukkan khusus syamsun yang ada tersebut, tidak hanya dikhususkan kepada syamsun yang sudah kita kenal. Seandainya ada syamsun yang lainnya, niscaya dia bisa juga dinamakan syamsun. Tidak khusus seperti Zaid (زَيْد) dan Amr (عَمْرو) yang khusus bagi orang yang namanya Zaid dan Amr, tidak boleh bagi semua orang.
Syamsun itu hanya diperuntukkan bagi isim-isim jenis.

Untuk nakirah ada definisi yang lain, yaitu : isim yang bisa diberi alif lam kemudian alif lam-nya memberi pengaruh ta’rif yaitu menjadikan ma’rifah, seperti kata شَمْسٌ tadi. شَمْسٌ ini nakirah kemudian supaya ma’rifat diberi alif lam menjadi الشَّمْسُ. Lafadz رجل nakirah, supaya bisa jadi ma’rifat diberi AL menjadi الرَّجُلُ.
Kalau suatu isim tidak bisa diberi alif lam maka tidaklah dinamakan nakirah. Contoh زَيْدٌ tidak bisa menjadi الزَّيْد. Isim alam tidak boleh diberi alif lam. Ada yang boleh diberi alif lam tapi tidak untuk ta’rif seperti عَبَّاسٌ .
Lafadz عَبَّاسٌ sudah ma’rifah bisa diberi alif lam tapi alif lam-nya bukan untuk ta’rif.

وَأَمَّا الْمَعْرِفَةُ فَإِنَّهَا تَنْقَسِمُ سِتَّةَ أَقْسَامٍ؛ الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: الضَّمِيْرُ، وَهُوَ أَعْرَفُ السِّتَّةِ ، وَلِهٰذَا بَدَأْتُ بِهِ، وَعَطَفْتُ بَقِيَّةَ الْمَعَارِفِ عَلَيْهِ بِثُمَّ.

Isim ma’rifah terbagi menjadi enam:

Pertama: DHAMIR (الضَّمِيْرُ)
Dhamir adalah isim yang paling ma’rifah di antara 6 isim ma’rifah. Oleh sebab inilah saya memulai dengan dhamir, kemudian saya ‘athafkan isim ma’rifah yang lain dengan kata tsumma (bukan pakai wawu) untuk menunjukkan bahwasanya isim ma’rifah setelahnya itu lebih rendah ke-ma’rifatannya.

[Isim ma’rifah itu bertingkat-tingkat derajat kema’rifahannya, ada yang paling ma’rifat ada yang lebih rendah ma’rifahnya. Yang paling tinggi adalah dhamir (الضَّمِيْرُ). Kemudian di antara dhamir itupun ada tingkatannya juga. Yang paling ma’rifat dari dhamir adalah Ana, tentunya yang berbicara dia lebih tahu tentang dirinya ketimbang orang lain. Atau dengan kata lain, dhamir untuk pihak pertama lebih ma’rifah ketimbang dhamir untuk pihak ke dua dan ke tiga, dhamir untuk pihak ke dua lebih ma’rifah ketimbang dhamir untuk pihak ke tiga. Kemudian ada juga (seperti di kitab Al Kawakib Ad Durriyyah, ada satu pengecualian yaitu Lafdzhul Jalalah ALLAH, lebih ma’rifah dari isim ma’rifat yang lain. Jadi Lafdzhul Jalalah ALLAH adalah isim yang paling ma’rifah. Sebagaimana yang diceritakan di situ, mengutip dari kitab yang lain tentang ceritanya Sibawaih. Bahwasanya Sibawaih menyatakan isim ma’rifah yang paling ma’rifah adalah Lafdzhul Jalalah. Kemudian Sibawaih meninggal dan ada yang bermimpi bertemu Sibawaih, lalu Sibawaih ditanya keadaannya, beliau mengatakan “keadaannya baik-baik saja” dengan sebab mengatakan bahwasanya Lafdzhul Jalalah ALLAH itu adalah isim yang paling ma’rifat. Kurang lebih seperti itu ceritanya. Nanti bisa dicek lengkapnya di kitab Al Kawakib Ad Durriyyah.]

وَهُوَ عِبَارَةٌ عَمَّا دّلَّ عَلَى مُتَكَلِّمٍ كَــ«أَنَا»، أَوْ مُخَاطَبٍ كَــ«أَنْتَ»، أَوْ غَائِبٍ كَــ«هُوَ».
Dhamir adalah ungkapan bagi isim yang menunjukkan kepada yang berbicara seperti أَنَا, atau yang diajak berbicara seperti أَنْتَ, atau ghaib seperti هُوَ.

وَيَنْقَسِمُ إِلَى مُسْتَتِرٍ وَبَارِزٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَخْلُوْ: إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ لَهَ صُوْرَةٌ فِي اللَّفْظِ أَوْ لَا، فَالْأَوَّلُ الْبَارِزُ كَتَاءِ «قُمْتُ»، وَالثَّانِي الْمُسْتَتِرُ كَالْمُقَدَّرِ فِي نَحْوِ قَوْلِكَ «قُمْ».
Kemudian الضَّمِيْرُ dibagi menjadi Mustatir dan Bariz, karena dhamir m tidak lepas dari mempunyai bentuk dalam lafadzhnya atau tidak.
Yang pertama: Al Bariz, seperti ta’ pada «قُمْتُ»
Yang kedua: Al Mustatir seperti yang muqaddar (tersembunyi/tersirat) pada contoh perkataanmu «قُمْ».

ثُمَّ لِكُلٍّ مِنَ الْبَارِزِ وَالْمُسْتَتِرِ انْقِسَامٌ بِاعْتِبَارٍ.
Kemudian masing-masing dari Bariz dan Mustatir ini punya pembagian menurut dasar pembagiannya.

فَأَمَّا الْمُسْتَتِرُ فَيَنْقَسِمُ – بِاعْتِبَارِ وُجُوْبِ الِاسْتِـتَارِ وَجَوَازِهِ – إِلَى قِسْمَيْنِ: وَاجِبِ الِاسْتِـتَارِ، وَجَائِزِهِ.
Dhamir Mustatir terbagi menurut wajib dan bolehnya mustatir kepada dua:

  1. Wajib Mustatir (Mustatir Wujuban)
  2. Boleh Mustatir (Mustatir Jawazan).

وَنَعْنِي بِوَاجِبِ الِاسْتِـتَارِ: مَا لَا يُمْكِنُ قِيَامُ الظَّاهِرِ مَقَامَهُ، وَذٰلِكَ كَالضَّمِيْرِ الْمَرْفُوْعِ بِالْفِعْلِ الْمُضَارِعِ الْمَبْدُوْءِ بِالْهَمْزَةِ كَــأَقُوْمُ، أَوْ بِالنُّوْنِ كَــنَقُوْمُ، أَوْ بِالتَّاءِ كَــتَقُوْمُ، أَلَا تَرَى أَنَّكَ لَا تَقُوْلُ «أَقُوْمُ زَيْدٌ» وَلَا تَقُوْلُ «نَقُوْمُ عَمْرٌو».
Yang kami maksudkan dengan wajib disembunyikan (dhamir mustatir wujuban) adalah setiap dhamir yang tidak mungkin isim dzhahir menempati tempatnya, seperti dhamir yang dimarfu’kan oleh fi’il mudhari’ yang didahului oleh Hamzah, seperti «أَقُوْمُ» (dhamir mustatir taqdiruhu Ana), atau didahului oleh huruf Nun seperti «نَقُوْمُ» (dhamir mustatir taqdiruhu Nahnu), atau dengan Ta’ seperti «تَقُوْمُ» (dhamir mustatir taqdiruhu Anta).

Tidakkah engkau melihat bahwasanya tidak boleh engkau mengatakan: «أَقُوْمُ زَيْدٌ» (Aku berdiri Zaid) dan juga tidak boleh engkau katakan: «نَقُوْمُ عَمْرٌو» (Kami berdiri Amar).
Jadi Dhamir yang Wajib Mustatir adalah dhamir yang “taqdiruhu أَنَا, نَحْنُ atau أَنْتَ”. Pada fi’il mudhari’ yang dhamirnya taqdiruhu أَنَا نَحْنُ atau أَنْتَ, pada fi’il amr yang dhamirnya taqdiruhu أَنْتَ.
Kalau fi’il madhi tidak ada yang wajib.

وَنَعْنِيْ بِالْمُسْتَتِرِ جَوَازًا، مَا يُمْكِنُ قِيَامُ الظَّاهِرِ مَقَامَهُ، وَذٰلِكَ كَــالضَّمِيْرِ الْمَرْفُوْعِ بِفِعْلِ الْغَائِبِ، نَحْوُ «زَيْدٌ يَقُوْمُ»، أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَجُوْزُ لَكَ أَنْ تَقُوْلَ «زَيْدٌ يَقُوْمُ غُلَامُهُ».
Sedangkan Dhamir Mustatir Jawazan maksudnya adalah: Dhamir yang isim dzhahir bisa menempati posisinya. Seperti dhamir yang dimarfu’’kan oleh fi’il ghaib.
Contohnya: «زَيْدٌ يَقُوْمُ» (Zaid sedang berdiri).
Tidakkah engkau mengetahui bahwasanya engkau boleh mengatakan: «زَيْدٌ يَقُوْمُ غُلَامُهُ» (Zaid anaknya atau budaknya sedang/akan berdiri). Lafadz غُلَامُ bisa menggantikan posisinya dhamir mustatir pada يَقُوْمُ.
Jadi Dhamir Mustatir Jawazan adalah dhamir yang untuk ghaib laki-laki atau perempuan, bisa fi’il madhi atau fi’il mudhari’. Yaitu dhamir yang taqdiruhu هُوَ atau هِيَ. Kalau fi’il amr tidak bisa, amr tidak ada yang ghaib.
Sedangkan fi’il nahi masuknya ke fi’il mudhari’. Tidak dikatakan fi’il nahi itu fi’il yang berdiri sendiri. Begitu juga fi’il yang didahului oleh Lamul Amri termasuk fi’il mudhari’, karena pembagian fi’il hanya tiga, yaitu madhi, mudhari’ dan amr.

Jadi kesimpulannya:

DHAMIR MUSTATIR WUJUBAN ada 4:

  • Pada fi’il mudhari’ ada 3, yaitu mustatir taqdiruhu أَنِتَ, أَنَا dan نَحْنُ.
  • Pada fi’il amr ada 1, yaitu mustatir taqdiruhu أَنْتَ.

DHAMIR MUSTATIR JAWAZAN ada 4:

  • Pada fi’il madhi ada 2, dhamir mustatir taqdiruhu هُوَ dan هِيَ
  • Pada fi’il mudhari’ ada 2, dhamir mustatir taqdiruhu هُوَ dan هِيَ

Total (Dhamir Mustatir) ada 8, Mustatir Wujuban 4 dan Mustatir Jawazan 4.
Selain itu dhamirnya BARIZ.

وَأَمَّا الْبَارِزُ فَإِنَّهُ يَنْقَسِمُ – بِحَسَبِ الِاتِّصَالِ وَالِانْفِصَالِ – إِلَى قِسْمَيْنِ: مُتَّصِلٌ، وَمُنْفَصِلٌ؛
Adapun BARIZ maka menurut bersambung tidaknya, terbagi kepada dua: Muttashil dan Munfashil.

فَالْمُتَّصِلُ هُوَ: الَّذِي لَا يَسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ، كَتَاءِ «قُمْتُ»
Dhamir Muttashil adalah dhamir yang tidak berdiri sendiri, seperti Ta’ pada قُمْتُ, dia menempel kepada fi’il sebelumnya (penulisannya menempel).

وَالْمُنْفَصِلُ هُوَ: الَّذِيِ يَسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ، كَــأَنَا، وَأَنْتَ، وَهُوَ.
Sedangkan Dhamir Munfashil adalah dhamir yang bisa berdiri sendiri.
Seperti : أَنَا (saya), أَنْتَ (kamu) dan هُوَ (dia, laki-laki).

وَيَنْقَسِمُ الْمُتَّصِلُ – بِحَسَبِ مَوَاقِعِهِ فِي الْإِعْرَابِ – إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: مَرْفُوْعُ الْمَحَلِّ، مَنْصًوْبُهُ، مَخْفُوْضُهُ؛
Dhamir Munfashil menurut posisinya dalam I’rab terbagi menjadi tiga:

  • Yang posisinya rafa’
  • Yang posisinya nashab
  • Yang posisinya khafadh (jarr).

فَمَرْفُوْعُهُ كَــــتَاءِ «قُمْتُ» فَإِنَّهُ فَاعِلٌ،
Yang pertama, فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ (pada posisi rafa’), contohnya seperti Ta’ pada قُمْتُ karena sebagai fa’il.

وَمَنْصُوْبُهُ كَـــكَافِ «أَكْرَمَكَ» فَإِنَّهُ مَفْعُوْلٌ،
Yang kedua, فِي مَحَلِّ نَصْبٍ (pada posisi nashab), contohnya Kaf pada أَكْرَمَكَ karena sebagai maf’ulun bih.
[Kalau dikatakan “Maf’ul” tanpa tambahan berarti maksudnya Maf’ul Bih. Karena maf’ul itu banyak, ada maf’ul bih, maf’ul lahu, maf’ul mutlaq, maf’ul fih dan seterusnya.

وَمَخْفُوْضُهُ كَـــهَاءِ «غُلَامِهِ» فَإِنَّهُ مُضَافٌ إِلَيْهِ.
Yang ke tiga, yang فِيْ مَحَلِّ جَرٍّ, seperti Ha’ pada غُلَامِهِ karena sebagai mudhaf ilaih.

وَيَنْقَسِمُ الْمُنْفَصِلُ – بِحَسَبِ مَوَاقِعِهِ فِي الْإِعْرَابِ – إِلَى مَرْفُوْعِ الْمَوْضُوْعِ، وَمَنْصُوْبِهِ؛
Dhamir Munfashil, menurut posisinya dalam i’rab, terbagi menjadi dua yaitu pada posisi rafa’ dan pada posisi nashab.

فَالْمَرْفُوْعُ اثْنَتَا عَشْرَةَ كَلِمَةً: أَنَا، نَحْنُ وَأَنْتَ، أَنْتِ، أَنْتُمَا، أَنْتُمْ؛ أَنْتُنَّ، هُوَ، هِيَ، هُمَا، هُمْ، هُنَّ،
Yang فِي مَحَلِّ رَفْعٍ (pada posisi rafa’) ada 12 kata:
أَنَا، نَحْنُ، أَنْتَ، أَنْتِ، أَنْتُمَا، أَنْتُمْ؛ أَنْتُنَّ، هُوَ، هِيَ، هُمَا، هُمْ، هُنَّ

[Kalau kita menghafalnya:
هُوَ، هُمَا، هُمْ، هِيَ، هُمَا، هُنَّ، ….
Ada 12, tetapi karena ada 2 lafadzh yang sama maka tidak disebutkan, karena lafadzh-nya sama walaupun maknanya berbeda, jadi di sini dianggap ada 12, seharusnya 14, walaupun lafadzh sama tetapi maknanya berbeda, yaitu أَنْتُمَا dan هُمَا].

وَمَنْصُوْبُهُ اثْنَتَا عَشَرَةَ كَلِمَةً أَيْضًا: إِيَّايَ، إِيَّانَا، إَيَّاكَ، إِيَّاكِ، إِيَّاكُمَا، إِيَّاكُمْ، إِيَّاكُنَّ، إِيَّاهُ، إِيَّاهَا، إِيَّاهُمَا، إِيَّاهُمْ، إِيَّاهُنَّ؛
فَهَذِهِ الِاثْنَتَا عَشْرَةَ كَلِمَةً لَا تَقَعُ إِلَّا فِي مَحَلِّ النَّصْبِ، كَمَا أَنَّ تِلْكَ الْأَوَّلَ لَا تَقَعُ إِلَّا فِي مَحَلِّ الرَّفْعِ،
Yang fii mahalli nashbin juga 12:
إِيَّايَ، إِيَّانَا، إَيَّاكَ، إِيَّاكِ، إِيَّاكُمَا، إِيَّاكُمْ، إِيَّاكُنَّ، إِيَّاهُ، إِيَّاهَا، إِيَّاهُمَا، إِيَّاهُمْ، إِيَّاهُنَّ؛

[Ada dua lafadzh, berbeda makna tapi lafadzhnya sama yaitu إِيَّاكُمَا dan إِيَّاهُمَا.
Kalau kita menghafalnya:
إِيَّاهُ، إِيَّاهُمَا، إِيَّاهُمْ….
dan seterusnya.
Yang 12 ini hanya pada posisi nashab saja sebagaimana dhamir yang pertama tadi هُوَ dan seterusnya hanya pada posisi rafa’]

تَقُوْلُ: «أَنَا مُؤْمِنٌ» فَـــأَنَا: مُبْتَدَأٌ، وَالْمُبْتَدَأُ حُكْمُهُ الرَّفْعُ، وَ«إِيَّاكَ أَكْرَمْتُ» فَإِيَّاكَ: مَفْعُوْلٌ مُقَدَّمٌ، وَالْمَفْعُوْلُ حُكْمُهُ النَّصْبُ، وَلَا يَجُوْزُ أَنْ يُعْكَسَ ذٰلِكَ؛
Contohnya, engkau mengatakan: «أَنَا مُؤْمِنٌ»; maka أَنَا adalah mubtada’, mubtada’ itu hukumnya rafa’, jadi pakai «أَنَا مُؤْمِنٌ» karena di sini mubtada’, harus rafa’, maka memakai dhamir rafa’. Contohnya lagi: «إِيَّاكَ أَكْرَمْتُ» maka إِيَّاكَ adalah maf’ul bih yang dikedepankan, dan maf’ul (maksudnya maf’ul bih) hukumnya nashab, tidak boleh dipindahkan.

فَلَا تَقُوْلُ «إِيَّايَ مُؤْمِنٌ» وَ«أَنْتَ أَكْرَمْتُ» وَعَلَى ذٰلِكَ فَقِسِ الْبَاقِيَ.
Maka tidak boleh engkau mengatakan:
«إِيَّايَ مُؤْمِنٌ» dan «أَنْتَ أَكْرَمْتُ»
Dan dengan dasar itulah maka qiyaskan kepada dhamir atau kalimat yang lain.

وَلَيْسَ فِي الضَّمَائِرِ الْمُنْفَصِلَةِ مَا هُوَ مَخْفُوْضُ الْمَوْضِعِ، بِخِلَافِ الْمُتَّصِلَةِ.
Dhamir munfashil tidak ada yang posisinya jarr (khafdh), berbeda dengan dhamir muttashil.
[Tidak ada dhamir munfashil yang posisinya jar. Kalau yang posisinya jarr memakai dhamir muttashil, seperti غُلَامُهُ, غُلَامُهَا, bukan غُلَامُ أَنْتَ atau غُلَامُ إِيَّاكَ.
Kecuali khusus satu huruf yang bisa masuk kepada dhamir munfashil tetapi penulisannya tetap digabungkan, karena huruf jarr-nya cuma satu huruf jadi digabungkan dengan dhamir munfashil setelahnya, yaitu huruf Kaf, seperti : كَـــأَنْتَ, كَـــنَحْنُ.
Khusus Kaf kalau masuk ke dhamir maka memakai dhamir munfashil bukan dhamir muttashil sedangkan huruf jarr yang lain memakai dhamir muttashil, seperti:
فِيْهِ bukan فِيْهُوَ,
فِيْنَا bukan فِيْنَحْنُ.
فِيْكَ bukan فِيْأَنْتَ
Tetapi kalau Kaf (khusus Kaf) memakai dhamir munfashil.


1 Komentar

  1. Alim berkata:

    Sangat bermanfaat sekali untuk di pelajari

Tinggalkan Komentar